Connect with us

General News

Pemerintah Larang Pengecer Jual LPG 3 Kg, Masyarakat Mengantre Panjang

Pikiran Rakyat/Muhammad Tommy Lou

SPILLS.CO.ID, Jakarta – Pemerintah resmi melarang pengecer atau warung menjual LPG 3 kg. Larangan ini diterapkan agar subsidi gas lebih tepat sasaran dan tidak terjadi penggelembungan harga.

Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung menyatakan bahwa nantinya tidak ada lagi pengecer yang menjual gas bersubsidi tersebut. Semua pengecer akan diubah menjadi pangkalan resmi yang mendapat stok langsung dari Pertamina.

“Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftarkan usahanya menjadi pangkalan resmi penjual LPG 3 kg. Per 1 Februari peralihan dimulai, karena itu kami berikan jeda waktu selama satu bulan,” ujar Yuliot Tanjung di Kementerian ESDM, Jumat (31/1/2025).

Antrean Panjang Warga Akibat Larangan

Akibat kebijakan ini, terjadi antrean panjang warga yang ingin membeli LPG 3 kg di berbagai tempat. Salah satunya di agen resmi PT Internusa Jaya Sinergi Global di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Saleh, warga Cinangka, Sawangan, harus berdiri dalam antrean panjang untuk mendapatkan satu tabung gas subsidi. Ia datang ke agen karena warung sembako langganannya kehabisan stok LPG 3 kg dan mengarahkannya ke agen resmi.

Menurut Saleh, antrean panjang terjadi karena banyak warga yang belum terdaftar sebagai penerima subsidi LPG 3 kg. Pembelian gas di agen dan pangkalan kini wajib menggunakan KTP.

“Pakai KTP kalau belum daftar, makanya agak antre, banyak yang belum daftar,” katanya dikutip dari CNN Indonesia, Senin (3/2/2025).

Situasi serupa terjadi di berbagai daerah, seperti di Jalan Pahlawan, Rempoa, Tangerang Selatan, di mana antrean warga mengular hingga ke jalan dan menyebabkan kemacetan. Kapolsek Ciputat Timur, Kompol Bambang Askar Sodiq, mengatakan pihaknya menerjunkan personel untuk membantu mengatur lalu lintas.

Ekonom: Kebijakan Ini Tidak Efektif dan Merugikan Masyarakat

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai kebijakan ini keliru karena mempersulit masyarakat miskin mendapatkan LPG 3 kg.

“Pastinya akan terjadi chaos, antrean panjang yang tidak perlu. Efeknya fatal, banyak pelaku UMKM yang terpaksa berhenti jualan karena mengantre LPG 3 kg, padahal mereka berhak mendapatkannya,” ujar Bhima.

Ia menilai pemerintah sengaja membuat akses subsidi sulit untuk menghemat anggaran. Menurutnya, alasan melarang warung menjual LPG 3 kg agar harga sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak masuk akal.

“Kalau warung hanya mengambil untung Rp2.000 per tabung, kenapa tidak boleh? Ini cara pemerintah agar subsidi sulit diakses, sehingga bisa menghemat anggaran subsidi LPG 3 kg,” imbuhnya.

Bhima juga menyoroti syarat berat bagi pengecer yang ingin menjadi agen resmi. Pengecer kebanyakan adalah warung kecil dengan modal usaha di bawah Rp20 juta.

“Ini sama saja membunuh kesempatan warung menjadi agen LPG 3 kg. Padahal mereka membantu distribusi ke tempat terpencil. Pemerintah seharusnya mendata pengecer, bukan melarang mereka,” tegasnya.

Pakar Energi: Sosialisasi Terlalu Mendadak

Direktur Energy Shift Institute, Putra Adhiguna, menilai kebijakan ini bertujuan membatasi konsumsi LPG 3 kg karena banyak rumah tangga mampu ikut menikmati subsidi. Namun, ia mengkritik sosialisasi yang dianggap terlalu mendadak.

“Cukup mengherankan kenapa kebijakan BBM dan LPG sering tampak mendadak bagi masyarakat dan tidak terasa cukup bertahap,” katanya.

Ia juga menyoroti jarak agen yang jauh dari pemukiman serta syarat berat bagi warung kecil untuk menjadi agen.

“Harus ada jalan tengah, misalnya kepastian ada agen dalam radius tertentu yang mudah diakses masyarakat. Ini tugas pemerintah,” tegasnya.

Jika pemerintah tetap ingin menerapkan larangan ini, ia menyarankan agar kebijakan dilakukan bertahap dan disertai solusi alternatif, seperti kompor listrik dan jaringan gas (jargas).

Ekonom: Pembatasan LPG 3 Kg Tidak Adil dan Tidak Efisien

Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, mengatakan tujuan pemerintah membatasi penjualan LPG 3 kg adalah untuk mengurangi beban subsidi. Saat ini, sekitar 68% konsumsi LPG 3 kg dinikmati oleh kelas menengah atas, sedangkan hanya 32% yang digunakan oleh masyarakat miskin.

Namun, ia menilai kebijakan ini tidak adil dan tidak efisien karena dua alasan utama:

  1. Akses LPG 3 kg menjadi lebih sulit
    Saat ini, jumlah agen LPG di Indonesia hanya 260 ribu unit, jauh lebih sedikit dibandingkan 3,9 juta warung dan toko kelontong yang selama ini melayani masyarakat.
  2. Sistem distribusi yang tidak tepat sasaran
    Pembelian di agen resmi wajib menggunakan KTP atau KK, yang dicocokkan dengan data Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Namun, data ini masih banyak bermasalah, menyebabkan exclusion error (orang miskin tidak masuk dalam DTKS) dan inclusion error (orang kaya justru mendapatkan subsidi).

“Ditambah dengan biaya transportasi ke agen yang jauh, kebijakan ini justru membuat kelompok miskin semakin sulit mendapatkan LPG 3 kg,” katanya.

Solusi: Bangun Jaringan Gas untuk Rakyat

Yusuf menilai solusi terbaik adalah membangun jaringan gas (pipanisasi gas) untuk rumah tangga. Ini akan menghasilkan efisiensi lebih tinggi dibanding distribusi LPG dalam tabung.

Keuntungan pipanisasi gas antara lain:

  1. Harga lebih murah bagi masyarakat, baik untuk LPG 3 kg maupun non-subsidi.
  2. Beban APBN berkurang, karena subsidi LPG bisa ditekan.
  3. Ketergantungan pada impor LPG menurun, menghemat devisa negara.

Namun, ia menilai pemerintah lebih memilih impor LPG karena ada kepentingan mafia gas.

“Hanya mafia impor gas yang tidak menghendaki adanya reformasi pipanisasi dan pembangunan jaringan gas untuk rakyat,” katanya.

Pemerintah: Pengecer Bisa Jadi Agen Resmi

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa larangan ini bertujuan memastikan subsidi tepat sasaran. Menurutnya, pengecer selama ini membuat LPG 3 kg lebih banyak dinikmati oleh masyarakat kelas menengah atas.

“Kami buat regulasi agar beli di pangkalan, karena harga di pangkalan bisa dikontrol. Jika ada yang menaikkan harga, izinnya bisa dicabut,” kata Bahlil.

Pemerintah memberikan waktu satu bulan bagi pengecer untuk mendaftar menjadi pangkalan resmi melalui sistem Online Single Submission (OSS).

Kebijakan ini mendapat dukungan dari Istana. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi mengatakan Kementerian ESDM justru mendorong pengecer untuk menjadi agen resmi.

“Jika mereka sudah mendaftar, posisi mereka bisa diformalisasikan sebagai agen resmi, sehingga distribusi LPG 3 kg lebih tepat sasaran,” katanya.

Meski demikian, kebijakan ini masih menuai pro dan kontra, terutama terkait dampaknya bagi masyarakat miskin dan pelaku usaha kecil.

Exit mobile version