General News
Pemanggilan Cepat Aktivis KontraS oleh Polisi usai Protes RUU TNI Tuai Kritik

SPILLS.CO.ID, Jakarta – Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengkritik langkah cepat Polda Metro Jaya dalam memproses laporan sekuriti Hotel Fairmont terkait aksi Koalisi Masyarakat Sipil yang menggeruduk rapat Panitia Kerja (Panja) Revisi UU TNI di hotel tersebut pada Sabtu (15/3/2025) sore.
Isnur mengungkapkan bahwa hanya sehari setelah laporan dilayangkan, polisi langsung mengirimkan surat panggilan permintaan keterangan kepada Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).
“Sudah langsung pemanggilannya. Jadi ini sangat cepat. Dalam waktu dua hari, klarifikasi langsung datang kepada teman-teman KontraS,” kata Isnur di Kantor YLBHI, Jakarta, Senin (17/3/2025).
Isnur menilai tindakan polisi ini sebagai upaya membungkam suara kritis masyarakat sipil. Menurutnya, aparat seharusnya lebih dulu menelaah laporan sebelum langsung melayangkan panggilan pemeriksaan kepada terlapor.
“Ini ada watak otoritarian, watak antikritik. Watak yang tidak mau mendengarkan suara masyarakat dan ini sangat berbahaya,” tegasnya.
Sebagai respons, YLBHI yang menjadi kuasa hukum Koalisi Masyarakat Sipil menyatakan akan menolak pemanggilan yang dilayangkan polisi.
“Hari ini kami langsung membuat surat kuasa dan mengirimkan surat keberatan atau penolakan pemanggilan,” jelas Isnur.
Kronologi Kejadian di Hotel Fairmont
Laporan terhadap aktivis Koalisi Masyarakat Sipil ini dilayangkan oleh seorang sekuriti Hotel Fairmont berinisial RYR dengan nomor laporan LP/B/1876/III/2025/SPKT/POLDA METRO JAYA.
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, menjelaskan bahwa laporan tersebut terkait dengan dugaan tindak pidana mengganggu ketertiban umum dan/atau perbuatan memaksa disertai ancaman kekerasan serta penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum.
“Dilaporkan oleh RYR, di mana pelapor adalah sekuriti Hotel Fairmont, Jakarta,” kata Ade Ary kepada wartawan, Minggu (16/3/2025).
Menurut laporan, kejadian bermula pada Sabtu (15/3/2025) pukul 18.00 WIB, saat tiga aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil masuk ke hotel dan berteriak di depan ruang rapat Panja revisi UU TNI.
“Mereka meneriakkan tuntutan agar rapat tersebut dihentikan karena dilakukan secara diam-diam dan tertutup,” ujar Ade Ary.
Dalam laporan ini, aktivis KontraS dan koalisi lainnya dijerat dengan beberapa pasal, antara lain:
- Pasal 172 KUHP (Mengganggu ketertiban umum)
- Pasal 212 KUHP (Melawan petugas yang menjalankan tugasnya)
- Pasal 217 KUHP (Menghalangi jalannya pemerintahan)
- Pasal 335 KUHP (Perbuatan tidak menyenangkan)
- Pasal 503 KUHP (Tindak pidana ringan yang mengganggu ketertiban)
- Pasal 207 KUHP (Penghinaan terhadap penguasa atau badan hukum di Indonesia)
Aksi Protes dan Bentrokan dengan Staf Hotel
Tiga aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Sektor Keamanan yang terlibat dalam aksi ini menggedor pintu ruang Ruby 1 dan 2 Hotel Fairmont, tempat rapat Panja revisi UU TNI berlangsung.
Salah satu aktivis KontraS, Andrie Yunus, yang mengenakan baju hitam, berusaha masuk ke ruang rapat tetapi dihalangi oleh dua staf berbaju batik. Terjadi dorong-dorongan yang menyebabkan Andrie terjatuh.
“Woi, Anda mendorong! Teman-teman, bagaimana kita kemudian direpresif?” teriak Andrie sambil bangkit kembali.
Para aktivis kemudian meneriakkan tuntutan mereka:
- “Kami menolak adanya pembahasan di dalam! Kami menolak adanya dwifungsi ABRI!”
- “Hentikan pembahasan dwifungsi RUU TNI, hentikan!”
- “Prosesnya sangat tertutup, tidak ada pelibatan rakyat di sini!”
Mereka juga membentangkan beberapa poster sebagai bentuk protes, di antaranya:
- “DPR dan Pemerintah Bahas RUU TNI di Hotel Mewah dan Akhir Pekan, Halo Efisiensi?”
- “Kayak kurang kerjaan aja, ngambil double job” (menyindir potensi kembalinya dwifungsi TNI)
- “Gantian aja gimana, TNI jadi ASN, sipil yang angkat senjata” (menyoroti pasal yang memungkinkan TNI menduduki jabatan sipil)
Protes ini mencerminkan kekhawatiran masyarakat sipil terhadap revisi UU TNI, yang dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi TNI dan dilakukan secara tertutup tanpa partisipasi publik.
Namun, cepatnya pemrosesan laporan terhadap aktivis menimbulkan pertanyaan besar tentang kebebasan berpendapat dan transparansi pemerintah dalam pembahasan kebijakan strategis.
“Ada orkestrasi untuk membungkam teman-teman yang bersuara. Ini ada watak otoriter yang kembali tumbuh,” kata Isnur menegaskan.
Polda Metro Jaya menyatakan bahwa kasus ini masih dalam penyelidikan lebih lanjut.